Sabtu, 17 Desember 2011

Sembuhkan Luka dengan Pendekatan Alami

Biasa digunakan sebagai pemanis dan pernah juga menjadi alat pembayaran pajak pada zaman kekaisaran Romawi. Siapa sangka, cairan kuning kental yang manis ini juga punya khasiat dalam bidang pengobatan.


Sejak zaman Mesir Kuno, kira-kira 3000 tahun Sebelum Masehi, madu telah banyak digunakan sebagai obat luka dan pengawet jenazah. Dua ribu tahun kemudian, Aristoteles menuliskan dalam bukunya, "... madu putih datang dari tanaman Thymus murni dan sederhana; baik sebagai salep untuk mata merah dan luka." Hipokrates, Bapak Ilmu Kedokteran, juga menganjurkan madu untuk mengatasi demam akut dan ulkus. Pun, dalam sebuah kitab suci tercantum ayat yang menyinggung manfaat madu dalam bidang pengobatan.
Semua bukti di atas, ditambah berbagai penelitian klinis yang dilakukan sejak tahun 1960-an telah membuktikan kapasitas madu sebagai alternatif pengobatan. Sayang, penelitian-penelitian tersebut kebanyakan dilakukan di luar negeri dengan menggunakan madu dari negeri asalnya. Bagaimana dengan madu lokal? Rasa penasaran itulah yang membawa Gentur dan rekan-rekannya melakukan riset yang kemudian dituangkan dalam buku ini.
Gentur memaparkan bahwa pada dasarnya madu memiliki tekanan osmotik yang tinggi serta kandungan zat methyl glioxyl (MGO) sehingga dapat mempersulit pertumbuhan bakteri. Pada madu produksi mancanegara, penghambatan pertumbuhan bakteri terjadi pada kadar 25%, sedangkan madu lokal pada kadar 100%. Hal tersebut membuktikan bahwa sifat fisika dan kimia madu Indonesia tidak jauh berbeda dengan madu mancanegara, temasuk efek antibakterinya.
Selain hasil penelitian, dalam buku ini juga dicantumkan pengalaman-pengalaman klinis terkait madu sebagai metode terapi. Salah satu contoh adalah pada kasus kematian jaringan lunak akibat leukemia. Untuk menangani kasus tersebut, tim dokter bedah plastik melakukan perawatan menggunakan madu.
Dalam waktu kurang dari satu bulan, tulang yang diolesi madu kembali tertutup jaringan granulasi.
Segala hal yang dijelaskan dalam buku ini, baik penelitian maupun pengalaman klinis, dituturkan dalam bahasa awam sehingga mudah dipahami. Foto-foto yang disajikan pun makin menambah sisi menarik karya ilmiah populer ini.
Namun, data-data penelitian yang ditampilkan tidak terlalu lengkap sehingga buku ini terkesan merangkum beberapa penelitian sebelumnya. Foto-foto kasus yang berat juga mungkin menimbulkan pemandangan yang tidak nyaman bagi mata awam.
Terlepas dari segala kekurangannya, buku ini tetap menarik untuk dibaca terutama untuk menambah wawasan seputar terapi nonfarmakologis. Terlebih lagi, buku ini didukung dengan penelitian yang memadai. Jadi, apa lagi yang Anda ragukan?.[]ayesya

Disalin dari Media Aesculapius, No.04/XLI/September-Oktober 2011 hal. 6 rubrik Resensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar