مَنْ فَقَدَ أَبَاهُ وَهُوَ دُوْنَ الْبُلُوْغِ ذَكَرَا كَانَ أَوْ أُنْـثَى
"Seorang yang kehilangan ayahnya -karena meninggal- ketika ia belum baligh atau dewasa, baik itu laki-laki atau perempuan." (Lihat al-Qamus al-Fiqhi oleh DR. Sa'di Abu Habib dan al-Yatim oleh as-Suhaibani)
Dengan demikian seseorang dikatakan yatim bila:
a. Ditinggal wafat ayahnya. Adapun anak yang ditinggal wafat ibu atau anggota keluarga yang lain tidaklah dikatakan yatim. Begitu juga anak yang ditinggal karena perceraian suami istri.
b. Ditinggal wafat ayahnya ketika masih di bawah usia baligh atau dewasa. Dengan demikian bila ditinggal wafat ayahnya sesudah masa baligh, tidak pula disebut anak yatim.
Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas رضي الله عنهما pernah menerima surat dari Najdah bin Amir yang berisi beberapa pertanyaan, salah satunya tentang batasan seorang disebut yatim. Ibnu Abbas menjawab:
كَتَبْتَ تَسْأَلُنِي عَنِ الْيَتِيمِ مَتَى يَنْقَطِعُ عَنْهُ اسْمُ الْيُتْمِ وَإِنَّهُ لَا يَنْقَطِعُ عَنْهُ اسْمُ الْيُتْمِ حَتَّى يَبْلُغَ وَيُؤْنَسَ مِنْهُ رُشْدٌ
"Kamu bertanya kepada saya tentang anak yatim, kapan terputus predikat yatim itu? Sesungguhnya predikat itu putus bila ia sudah baligh dan menjadi dewasa." (Diriwayatkan oleh Muslim)
Kriteria Baligh bisa dilihat disini >>
Disalin dari Makalah Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf خفظه الله di Majalah Al-Mawaddah Vol 45/Dzulhijjah 1432 H/Okt-Nov 2011 M, hal.13-14 dengan judul: Keagungan Anak Yatim Dalam Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar